TEMPO.CO – Sab, 4 Agu 2012
TEMPO.CO, Beijing
- Larangan itu kembali terulang. Seperti tahun-tahun sebelumnya, warga
muslim Uighur di Provinsi Xinjiang, barat laut Cina, dipersulit untuk
berpuasa pada bulan suci Ramadan. Larangan berpuasa bagi pegawai
pemerintah dan siswa sekolah itu diungkapkan Pemerintah Kota Zonglang di
Distrik Kashgar pada awal Agustus ini.
»Kader Partai Komunis, pegawai pemerintah (termasuk pensiunan), dan
siswa sekolah dilarang melakukan ibadah Ramadan,” demikian pernyataan
tersebut, seperti dilansir kantor berita Xinhua, Rabu lalu. Kebijakan
ini, menurut pemerintah, sebagai upaya menegakkan stabilitas di kawasan
rawan konflik sektarian tersebut.
Muslim sedang berdoa di masjid Aksu, Xinjiang Uighur Autonomous, pada 3 Agustus 2012. REUTERS/StringerPemerintah
bahkan mengutus petinggi partai di kawasan itu untuk memberikan hadiah
makanan kepada pemimpin desa. Langkah ini untuk memastikan para kepala
desa tidak berpuasa pada bulan Ramadan.
Pemerintah daerah lain di Xinjiang juga mendesak pihak sekolah untuk
melarang siswa mengunjungi masjid kala Ramadan. Kisah tragis soal puasa
di Xinjiang memang dihadapi siswa di semua tingkatan. Tahun lalu, para
dosen di sebuah kampus ilmu pendidikan di Kota Kashgar memaksa
mahasiswanya makan siang saat Ramadan.
Saat Idul Fitri tiba, seluruh kafe dan restoran di kampus justru
ditutup. Yang sangat menyedihkan, para mahasiswa dikunci di dalam kampus
dan tak bisa merayakan akhir Ramadan bersama keluarga masing-masing.
»Ini sangat menyakitkan kami,” tutur seorang mahasiswa berusia 20 tahun.
Kebijakan tak masuk akal lainnya dibebankan kepada para pemilik
restoran. Untuk memaksa warga Uighur santap siang pada hari Ramadan,
Partai Komunis di kawasan Xinjiang memaksa semua restoran tetap buka.
Jika ketahuan tutup, pemilik restoran akan didenda hingga US$ 780 atau
setara Rp 7,4 juta.
Akibatnya, seluruh restoran terpaksa tetap buka pada hari Ramadan
meski tak ada pelanggan yang datang. »Mereka tak ingin mendapat
masalah,” ucap seorang dokter muda yang menolak disebut namanya. Sebuah
kompromi pun dilakukan di salah satu restoran. »Kokinya memasak satu
menu meski ia tak mencicipi saat membuatnya,” ujar sang dokter.
Kebijakan saat Ramadan di Xinjiang terasa semakin menyesakkan setiap
tahun. ”Ini sudah berlangsung sejak 1993, dan terus memburuk,” tutur
Tursun Ghupur, penduduk Kashgar yang kini menetap di Beijing. »Warga
biasa memang masih bisa menikmati ibadah puasa saat Ramadan, tapi bagi
pegawai negeri dan siswa, ini adalah neraka.”
Kebijakan ini tentu menimbulkan perlawanan dari masyarakat muslim
Uighur. »Larangan ini hanya menambah bahan bakar penduduk Uighur untuk
menentang pemerintah Cina lebih keras lagi,” ujar Dilshat Rexit, juru
bicara Kongres Dunia Uighur.
Kawasan Xinjiang merupakan rumah bagi sembilan juta etnis muslim
Uighur. Namun populasi penduduk muslim di Xinjiang semakin terdesak oleh
kedatangan suku Han, etnis mayoritas Cina. Kondisi rawan konflik ini
semakin diperparah oleh kebijakan pemerintahan Cina yang membatasi
kebebasan beragama warga muslim Uighur.
Konflik berdarah pun pecah pada Juli 2009. Warga Uighur dilaporkan
menyerang warga Han di Kota Urumqi. Warga Han yang tak terima pun
membalas. Akibat insiden ini, 200 warga tewas dan 1.700 lainnya terluka,
sebagian besar korban berasal dari etnis Uighur.
Para analis menilai kebijakan ini diambil karena Xinjiang merupakan
aset yang sangat berharga. Posisinya yang strategis di Asia Tengah
berpadu dengan kekayaan alam berupa minyak dan gas yang berlimpah.
Walhasil, Cina yang dikuasai penduduk Han berupaya merebut kawasan ini.
Jika pada 1940 jumlah penduduk Han hanya 5 persen, kini jumlah mereka
mencapai 40 persen.